Dalam berbagai kepustakaan lingustik disebutkan bidang studi lingustik yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran lingustik. Istilah ini tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara jenjang satuan bahasa yang disebut wacana.
Dalam tataran sintaksis dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi.
Letak semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran yang bangun-membangun tersebut. Penamaan tataran untuk semantik kurang tepat, sebab dia bukan satu tataran itu dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar melainkan merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama.
Menurut Hockett (1954), salah satu tokoh strukturalis menyatakan bahasa adalah suatu sistem kompleks dari beberapa kebiasaan. Sistem bahasa terdiri dari lima sub-sistem yakni sub-sistem gramatika, fonologi, morfofonemik, semantik, dan fonetik. Kedudukannya pun tidaklah sama derajatnya seperti sub-sistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral sedangkan sub-sistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa disebut periferal? Karena menurut pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah tidak jelas, tidak dapat diamati secara empiris atau berdasarkan pengalaman sebagaimana sub-sistem gramatika (morfologi dan sintaksis).
Demikian Chomsky, bapak lingustik transformasi dalam buku pertama pada 1957 tidak menyinggung masalah makna. Baru kemudian dalam bukunya yang kedua pada 1965 beliau menyatakan bahwa semantik adalah salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini.
2. Hakikat Makna
Banyak teori yang tentang makna telah disampaikan orang. Melihat pandangan dari Ferdinand de Saussure dengan teori tanda lingustiknya. Menurutnya, setiap tanda lingustik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yakni signifian atau “yang mengartikan” wujudnya berupa runtunan bunyi dan signifie atau “yang diartikan” wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian).
Misalkan, tanda linguistik berupa (lihat gambar) <meja>, terdiri dari signifian berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, /a/; dan komponen signifie-nya berupa konsep atau makna ‘sejenis perabot kantor atau rumah tangga’. Tanda lingustik ini berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan fonem tersebut mengacu kepada sebuah referen berada di luar bahasa, yaitu “sebuah meja”.
Dengan demikian, teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat di sebuah tanda linguistik.
3. Jenis Makna
a. Makna leksikal
Leksikal adalah makna yang dimiliki atau dua ada pada leksem (satuan terkecil dalam leksikon/kosakata) meski tanpa konteks apa pun. Contoh, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’; pensil bermakna leksikal ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari’.
Dengan contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil pengamatan indra kita, atau makna apa adanya. Berbeda dengan makna leksikal,
b. Makna gramatikal
Makna gramatikal (makna didasarkan atas hubungan antar unsur-unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar, misal hubungan antara kata dan kata lain dalam frasa atau klausa) baru ada bila terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses prefiks ¬ber- dengan dasar baju menciptakan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’; dengan dasar kuda menciptakan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam menciptakan makna gramatikal ‘bahan’; dengan dasar madura menciptakan gramatikal ‘asal’; dengan dasar lontong menciptakan ‘bercampur’; dengan dasar kata Pak Kumis menciptakan ‘buatan’.
c. Makna konteks
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contoh:
• Rambut di kepala nenek belum ada yang putih
• Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu
• Nomor teleponnya ada di kepala surat itu
• Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa
• Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
d. Makna denotatif
Adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif ‘sejenis binatang yang biasa diternakkam untuk diambil manfaat dagingnya’. Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecilk dari ukuran normal’.
e. Makna konotatif
Adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa orang atau kelompok orang yang menggunkan kata tersebut. Contohnya, kata babi di masyarakat Muslim mempunyai konotasi negatif karena hewan tersebut haram, kata kurus, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki rasa yang mengenakkan (unfavorable). Tetapi kata ramping yang bersinonim dengan kurus memiliki konotasi positif, nilai rasa mengenakkan, orang akan senang dikatakan ramping.
No comments:
Post a Comment