Monday, 15 February 2016

Fonologi Bahasa: Supra Segmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, Silaba


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bila kita memperhatikan dengan saksama dalan kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang memakai bahasa Indonesia tetapi tuturan atau ucapan daerahnya terbawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Tidak sedikit seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan lafal atau intonasi Jawa, Batak, Bugis, Sunda, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar bangsa Indonesia memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, bahasa daerah sebagai utamanya.
Dalam pembahasan fonologi bahasa untuk meluruskan bagaimana tuturan atau ucapan dalam bahasa Indonesia. Pengertian fonologi menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik fonologi yakni bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau perlambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujara adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental atau melambangkan kedua bunyi tersebut. Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan dan huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi ujar dalam kata, frase, kalusa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, menulis singkatan, nama orang, dan beberapa lambang teknis keilmuan lainnya.
Tata cara penulisan bunyi ini biasa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemis.


1.2 Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan informasi rincian pengertian suprasegmental, periodisasi, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba?
2.    Apa saja ciri-cirinya?
3.    Apa saja yang memengaruhi informasi rincian pengertian suprasegmental, periodisasi, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba dalam fonologi bahasa?


1.3 Maksud dan Tujuan
1.      Untuk memberikan informasi rincian pengertian suprasegmental, periodisasi, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba;
2.      Memberikan informasi tentang tugas fonologi bahasa;
3.      Untuk mengetahui ciri-ciri suprasegmental, periodisasi, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba;


URAIAN 
2.1       Bunyi Bahasa
Bunyi bahasa merupakan unsur bahasa yang paling kecil. Istilah bunyi bahasa atau fon merupakan terjemahan dari bahasa inggris phone ‘bunyi’. Bunyi bahasa menyangkut getaran udara.Bunyi itu terjadi karena dua benda atau lebih bergeseran atau berbenturan.Sebagai getaran udara, bunyi bahasa merupakan suara yang dikeluarkan oleh mulut, kemudian gelombang-gelombang bunyi sehingga dapat diterima oleh telinga.
Bunyi bahasa atau bunyi ujaran dihasilkan oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir.Bunyi bahasa atau bunyi ujaran adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia atau bunyi yang diartikan, kemudian membentuk gelombang bunyi, sehingga dapat diterima oleh telinga manusia.

2.2       Kajian Bunyi Bahasa
Bunyi bahasa atau bunyi ujaran (fon) menyangkut bunyi yang dikeluarkan oleh alat bicara tanpa melihat fungsinya sebagai pembeda arti. Bunyi bahasa dari sudut ujaran atau turunan (parole). Misalnya, perbedaan antara bunyi vokal depan madya atas {e} dengan vocal depan madya {E}. Kajian mengenai bunyi bahasa ini disebut fonetik.
Fonetik dapat didefinisikan sebagai kajiab tentang bunyi bahasa, pembentukannya, frekuensinya sebagai getaran udara, dan cara penerimaannya oleh telinga. Berdasarkan proses kejadian bunyi bahasa tersebut, fonetik dibagi menjadi tiga jenis, yakni (1) fonetik artikulatoris, (2) fonetik akustis, dan (3) fonrtik auditoris.
1.      Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris ialah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa. Fonetik artikulatoris menyangkut produksi atau pembentukan bunyi bahasa oleh alat bicara,bagaimana, bunyi bahasa dibuat atau diucapkan serta bagaimana bunyi bahasa diklasifikasi berdasarkan artikulasinya. Fonetik jenis ini banyak berkaitan dengan linguistik sehingga para linguis, khususnya para ahli konetik, memasukannya sebagai cabang linguistik.

2.      Fonetik Akustis
Fonetik akustis mempelajari bunyi bahasa sebagai gejala fisis yang berupa getaran udara.Dalam fonetik jenis ini dikaji frekwensi getaran bunyi, amplitudo, intensitas, dan timbrenya.Udara yang bergetar adalah udara yang bergerak dalam gelombang-gelombang. Arah gelombang itu bergerak kemana saja, jika tidak ada hambatan sama sekali. Gelombang bunyi itu berirama secara ritmis.Ritmenya diukur dengan frekuensi persatuan waktu (detik).Keras nyaringnya atau intesitas bunyi secara akustis berpangkal pada luas lebarnya gelombang udara yang disebut amplitudo.Amplitude akan berkurang menurut jarak dari sumber bunyi.

3.      Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi bahasa sebagai getaran udara. Fonetik ini berkaitan erat dengan proses mendengarkan atau menyimak bidang fonetik ini cenderung dimasukan kedalam ilmu kedokteran bagian neurologi.

2.3       Produksi Bunyi Bahasa
Pada umumnya manusia berkomunikasi melalui bahasa lisan maupun tulisan, komunikasi yang dilakukan dengan bahasa tulisan tidak melibatkan alat ucap, sedangkan komunikasi melalui bahasa lisan melibatkan alat ucap.
Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya.

Sumber tenaga itu berupa udara yang keluar dari paru-paru.Pada mulanya udara dihisap oleh paru-paru, kemudian dihembuskan sewaktu bernafas.Udara yang dihembuskan (atau dihisap untuk sebagian kecil bunyi bahasa) itu mengalami perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan.Arus udara yang keluar dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat sehingga mengakibatkan corak bunyi bahasa tertentu.Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan arus udara dan udara disekitar pita suara itu berubah tekanannya dan bergetar.Perubahan bentuk saluran udara itulah yang menghasilkan bunyi yang berbeda-beda.
Tempat atau alat ucap yang dilewati udara dari paru-paru, antara lain : batang tenggorok, pangkal tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidumg, atau bersama alat ucap yang lain. Alat ucap sebagai organ tubuh memiliki fungsi dan kerja tertentu, antara lain :
a.       Paru-paru berfungsi untuk pernafasan.
b.      Pangkal tenggorok adalah rongga pada ujung pipa pernafasan.
c.       Epiglottis (katup pangkal tenggorok berfungsi untuk melindungi masuknya makanan atau minuman ke batang tenggorok.
d.      Rongga kerongkongan berfungsi sebagai saluran makanan dan minuman.
e.       Langit-langit lunak atau velum berfungsi sebagai articulator pasif (atau titk artikulasinya), sedangkan artikulator aktifnya ialah pangkal lidah.
f.       Langit-langit keras atau palatum merupakan susunan tulang
g.      Gusi dalam atau alveolum berfungsi sebagai artikulator pasif, sedangkan articulator aktifnya adalah ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut bunyi alveoral.
h.      Gigi atau dental dibedakan atas gigi atas dan gigi bawah.
i.        Bibir adalah sebagai pintu penjaga rongga mulut.
j.        Lidah berfungsi sebagai alat perasa dan pemindah makanan yang akan atau sedang dikunyah. Lidah berfungsi sebagai artikulator aktif.

2.4       Pembentukan dan Klasifikasi Bunyi Bahasa
Vokal, Konsonan, dan Semivokal
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan.Pada pembentukan vokal tidak ada artikulasi.Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara saja.Hambatan pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat ucap.Dalam hal ini terjadi artikulasi.
Bunyi semivokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pada waktu diartikulasikn belum membentuk konsonan murni.

Bunyi Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau sengau dibedakan dari bunyi oral berdasarkan jalan keluarnyaarus udara.Bunyi nasal dihasilkan dengan menutup arus udara keluar melalui rongga mulut, membuka jalan agar dapt keluar melalui hidung.\
Bunyi oral dihasilkan dengan jalan mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi rongga hidung sehingga arus udara dari paru-paru keluar melalui mulut. Selain bunyi nasal, semua bunyi vokal dan konsonan bahasa Indonesia termasuk bunyi oral.

Bunyi Keras dan Lunak
Bunyi keras dibedakan dari bunyi lunak berdasarkan ada tidak adanya ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu di artikulasikan.Bunyi bahasa disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara.Sebaliknya, apabila pada waktu di artikulasikan tidak di sertai ketegangan kekuatan arus udara, bunyi itu disebut lunak.
Bunyi keras mencakupi beberapa jenis bunyi seperti :
·         Bunyi letup tak bersuara (p, t, c, k).
·         Bunyi geseran tak bersuara (s).
·         Bunyi vokal.

Bunyi lunak mencakupi beberapa jenis seperti :
·           Bunyi letup bersuara (b, d, j, g).
·           Bunyi geseran bersuara (z).
·           Bunyi nasal (m, n, ng, ny).
·           Bunyi likuida (r, l).
·           Bunyi semivokal (w, y)
·           Bunyi vokal (a, i, u, e, o)
·            
4)      Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi panjang dibedakan dari bunyi pendek berdasarkan lamanya bunyi tersebut diucapkn atau diartikulasikan.Vocal dan konsonan dapat dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek.

5)      Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan bunyi berdasarkan derajat penyaringan itu merupakan tinjauan fonetik auditoris.Derajat penyaringanitu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan.

6)      Bunyi Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal dibedakan dari bunyi rangkap berdasarkan perwujudannya.Bunyi tunggal adalah sebuah bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata, sedangkan bunyi rangkap adalah dua bunyi atau lebih yang bergabung alam satu suku kata.Semua bunyi vocal dan konsonan adalah bunyi tunggal.Bunyi tunggal vocal disebut juga monoftong.
Bunyi rangkap dapat berupa diftong maupun klaster.Diftong, yang lazim disebut vokal rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan bunyi vocal yang lainnya saling berbeda. Klaster, yang lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara artikulasi atau tempat artikulaksi dari konsonan yang di ucapkan saling berbeda.

7)      Bunyi Egresif dan Ingresif
Bunyi egresif dan ingresif dibedakan berdasrkan arus udara. Bunyi egresif dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru, sedangkan bunyi ingresif dibentuk dengan cara mengisap udara ke dalam paru-paru. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.
Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif pulmonic dan bunyi egresif glotalik, bunyi egresif pulmonic dibentuk dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru oleh otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hampir semua bunyi bahasa Indonesia dibentuk melalui egresif pulmonic. Bunyi egresif glotalik terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup sama sekali. Bunyi egresif glotalik disebut juga bunyi ejektif.
Bunyi Ingresif dibedakan atas bunyi ingresif glotalik dan bunyi ingresif velarik. Bunyi ingresif glotalik memiliki kemiripan dengan cara pembentukan bunyi egresif glotalik, hanya arus udara yang berbeda, bunyi ingresif velarik dibentuk dengan menaikkan pangkal lidah ditempatkan pada langit-langit lunak.

2.4       Pembentukan Vokal
1.      Cara Pembentukan Vokal
Istilah vokal sebenarnya merupakan vokal kardinal, yakni bunyi vokal yang mempunyai kualitas bunyi tertentu, keadaan lidah tertentu, dan bentuk bibir tertentu, yang telah dipilih dan dibentuk dalam suatu rangka gambar bunyi.
a.       Pembentukan vokal berdasarkan posisi bibir.
Berdasarkan bentuk bibir sewaktu vocal diucapkan, vocal dibedakan atas:
·         Vokal bulat, yakni vocal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Misalnya, u, o, dan a.
·         Vokal tak bulat, yakni vocal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya, i, e, dan

b.      Pembentukan vokal berdasarkan tinggi rendahnya lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, vokal dapat dibedakan atas
·         Vokal tinggi atau atas yang dibentuk apabila rahang bawah merapat ke rahang atas : i dan u.
·         Vokal madya atau tengah yang dibentuk apabila rahang bawah menjauh sedikit dari rahang atas : e dan o.
·         Vokal rendah atau bawah yang dibentuk apabila rahang bawah diundurkan lagi sejauh-jauhnya : a.

c.       Pembentukan vokal berdasarkan maju mundurnya lidah
Berdasarkan bagian lidah yang bergerak atau naju mundurnya lidah, vokal dapat dibedakan atas :
·         Vokal depan, yakni vokal yang dihasilkan oleh gerakan turun naikknya lidah bagian depan, seperti : i dan e.
·         Vokal tengah, yakni vokal yang dihasilkan oleh gerakan lidah bagian tengah, misalnya dan a.
·         Vokal belakang, yakni vokal yang dihasilkan oleh gerakan turun naiknya lidah bagian belakang atau pangkal lidah, seperti : u dan o.
d.      Striktur
Striktur adalah keadaan bubungan profesional artikulator (aktif) dengan artikulator pasif atau titik artikulasi. Dilihat dari strikturnya, vokal dibedakan atas empat jenis, yakni vokal tertutup, vokal semi-vokal, vokal terbuka, dan vokal semi-terbuka.

2.6       Pembentukan Konsonan
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor, yakni:
1.      Daerah artikulasi,
2.      Cara artikulasi,
3.      Keadaan pita suara, dan
4.      Jalan keluarnya udara.

a.       Pembentukan Konsonan Berdasarkan Daerah Artikulasi
Konsonan bilabial, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir yang bersama-sama bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi. Bunyi yang dihasilkan ialah p, b, m, dan w.
Konsonan lobiodental, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulator. Bunyi yang dihasilkan ialah f dan v.
Konsonan apiko-dentall, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan ujung lidah yang bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasi. Bunyi yang dihasilkan ialah t, d, dan n.
Konsonan apiko-alveolar, yaitu konsonan yang dihasilkan olehe ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasi. Bunyi yang dihasilkan ialah s, z, r, l.
Konsonan palatal atau lamino-palatal, yaitu konsonan yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasi. Bunyi yang dihasilkan c, j, Ŝ, ň, dan y.
Konsonan velar atau dorso-velar, yaitu konsonan yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai artikulator dang langit-langit lembut sebagai artikulasi. Bunyi yang dihasilkan ialah k, g, x, dan ή.
Konsonan glotal atau hamzah, yaitu konsonan yang dihailkan dengan posisi pita suara sama sekali merapat sehingga menutup glottis.
Konsonan laringal, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan pita suara terbuka terbuka lebar sehingga udara uang keluar digesekkan melalui glottis. Bunyi yang dihasilkan ialah h.

b.      Pembentukan Konsonan Berdasarkan Cara Artikulasi
Konsonan hambat (stop), yaitu konsonan yang dihasilkan dengan cara menghalangi sama sekali udara pada daerah artikulasi. Konsonan yang dihasilkan ialah p, t, c, k, b, d, j, g, dam?
Konsonan geser atau frikatif, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan cara menggesekkan udara yang keluar dari paru-paru. Konsonan yang dihasilkan ialah f, v, x, h, s, Ŝ, z, dan x.
Konsonan likuida tau lateral, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan menaikkan lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan dikeluarkan melalui kedua sisi lidah. Konsonan yang dihasilkan ialah l.
Konsonan getar atau trill, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan dan menjauhkan lidah ke alveolum dengan cepat dan berulang-ulang sehingga udara bergetar. Konsonan yang dihasilkan ialah r.
Semi-vokal, yaitu konsonan yang pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Misalnya, semivokal (w) dan (y). bunyi bilabial (w) dibentuk dengan tempat artikulasi yang berupa bibir atas dan bibir bawah.

c.       Pembentukan Konsonan Berdasarkan Posisi Pita Suara
Berdasarkan posisi pita suara atau begetar tidaknya pita suara, konsonan dapat dibedakan atas konsonan bersuara dan konsonan tak bersuara.
Konsonan bersuara, yaitu konsonan yang terjadi jika udara yang keluar dari rongga ujaran turut menggetarkan pita suara. Konsonan yang dihasilkan ialah m, b, v, n, d, r, ñ, j, η, g, dan R.
Konsonan tak bersuara, yaitu konsonan yang terjadi jika udara yang keluar dari rongga ujaran tidak menggetarkan suara. Konsonan yang dihasilkan ialah p, t, c, k, ?, f, Š, x, dan h.

d.      Pembentukan Konsonan Berdasarkan Jalan Keluarnya Udara
Berdasarkan jalan keluarnya udara dari rongga ujaran, konsonan dapat dibedakan atas konsonan oral dan konsonan nasal.
Konsonan oral, yaitu konsonan yang terjadi jika udara keluar melalui rongga mulut. Konsonan yang dihasilkan ialah p, t, c, k, ?, b, d, j, g, f, Š, x, h, r, l, w, dan y.
Konsonan nasal, yaitu konsonan yang terjadi jikaudara keluar melalui rongga hidung. Konsonan yang dihasilkan ialah m, n, ñ, dan η.



2.7       Fonetik : Realisasi dan Problematika Bunyi Bahasa
1.      Pengaruh-pemengaruh Bunyi Bahasa
Pengaruh-pemengaruh bunyi bahasa menyangkut dua segi, yakni pengaruh bunyi bahasa dan pemengaruh bunyi bahasa. Pengaruh bunyi bahasa muncul sebagai akibat proses asimilasi, sedangkan pemengaruh bunyi bahasa merupakan tempat artikulasi yang mempengaruhi bunyi yang disebut artikulasi penyerta (artikulasi sekunder atau koartikulasi) .
a.       Proses Asimilasi
Proses asimilasi dalam uraian ini terbatas pada asimilasi fonetis saja, yaitu pengaruh mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Menurut arahnya di bedakan asimilasi progresif daripada asimilasi regresif.
Asimilasi progresif terjadi apabila arah pengaruh bunyi itu ke depan. Misalnya, dalam bahasa Indonesia perubahan bunyi yang biasanya diucapkan apiko-dental seperti pada kata tetapi, tetapi dalam kata stasiun diucapkan secara lamino-alveolar perubahan letup apiko-dental menjadi letup almino-alveolar karena pengaruh secara progresif dari bunyi geseran lamino-alveolar.
Asimilasi regresif terjadi apabila arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Misalnya, perubahan bunyi yang biasanya dalam bahasa Indonesia diucapakan secara apiko-alveolar seperti pada kata aman, tetapi dalam kata pandan nasal sebelum diucapkan secara apiko palatal . perubahan nasal apiko-alveoral menjadi nasal apiko-palatal karena pengaruh secara regresif dari bunyi letuk palatal. Dengan demikian, tulisan fonetis untuk kata pandan dalam bahasa Indonesia ialah [pandan].

b.      Artikulasi Penyerta
Bunyi yang secara primer sama bisa diucapkan berbeda karena adanya bunyi lain yang mengikutinya. Perbedaan ucapan suatu bunyi dengan ucapan yang berlainan disebabkan oleh artikulasi penyerta, ko-artikulkasi, atau artikulasi sekunder bunyi yang mengikutinya. Musalnya, bunyi [k] dalam kata kucing dengan bunyi [k] dalam kata kijang berbeda, walaupun menurut biasanya atau menurut artikulasi primernya sama, yaitu merupakan bunyi dorso-velar yang di bentuk dengan artikulasi pangkal lidah dan langit-langit lunak.
Proses pengaruh bunyi yang di sebabkan oleh artikulasi penyerta dapat di bedakan atas : labialisasi, retrospeksi, palatalisasi, velarisasi, dan glotalisasi.
Labialisasi adalah pembulatan bibir pada artikulasi primer sehingga terdengar bunyi semi-vokal [w] pada bunyi utama tersebut.
Retrosfleksi adalahpenarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar [r] pada bunyi utamanya. Kecuali bunyi apikal, bunyi lain dapat disertai retrofleksi.
Palatalisasi adalah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal, bunyi lain dapat disertai palatalisasi.
Velarisasi adalah pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada artikulasi primer. Selain bunyi velar, bunyi-bunyi lain dapat divelarisasi.
Glotalisasi adalah proses penyerta hambatan pada glottis atau glottis tertutup rapat sewaktu artulasi primer diucapkan. Selain bunyi glottal, bunyi-bunyi lain dapat disertai glotalisasi.

c.       Pengaruh Bunyi Karena Distribusi
Pengaruh bunyi karena distribusinya pada awal kata, tengah kata, atau di akhir kata sering menentukan perwujudan bunyi tertentu. Pengaruh bunyi karena distribusi tersebut menimbulkan berbagai proses seperti aspirasi, pelepasan, dan pengafrikatan.
Aspirasi adalah pengucapan suatu bunyi yang disertai dengan hembusan keluarnya udara dengan kuat sehingga terdengar bunyi. Pelepasan adalah pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat atau diletupkan, kemudian dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Hambatan atau letupan itu dilepaskan atau dibebaskan. Pelepasan dibedakan atas lepas tajam, lepas nasal, dan lepas sampingan.
Lepas tajam atau lepas penuh ialah pelepasan alat-alat artikulasi dari titik artikulasinya yang terjadi secara tajam atau secara penuh. Misalnya, suatu bunyi hambat letup dalam bahasa Indonesia jika berada pada pengunci kata, proses letupannya dilepaskan atau dihilangkan, Bunyi lepas ditandai dengan […] di atas bunyi yang dilepaskan.
Lepas nasal ialah suatu pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi nasal di depannya. Misalnya, suatu bunyi hambat letup dalam bahasa Indonesia, letupannya dilepaskan melalui keluarnya udara lewat rongga hidung jika bunyi letup itu berdistribusi sebelum bunyi nasal yang homorgan.
Lepas sampingan ialah suatu pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi sampingan di depannya. Suatu bunyi hambat letup dalam bahasa Indonesia, letupannya dapat dilepaskan secara sampingan jika konsonan letup tersebut berdistribusi sebelum bunyi sampingan.
Pengafrikatan atau paduanisasi terjadi jika bunyi letup hambat yang seharusnya dihambat atu diletupkan tidak dilakukan, melainkan setelah hambatan dilepaskan secara bergeser dan pelan-pelan. Proses yang kedua menyebabkan adanya penyempitan jalannya arus udara sehingga udara terpaksa keluar dengan bergeser. Artikulasinya menjadi hambat geseran bukan hambat letupan. Gabungan antara hambat dan geseran disebut paduan atau afrikat. Prosesnya disebut paduanisasi atau pengafrikatan.
d.      Kehomorganan
Konsonan seperti t dan d disebut konsonan homorgan, yakni dengan mempergunakan alat-alat ucap yang sama dan dengan tempat artikulasi yang sama. Terdapat dua jenis kehomorganan yakni kehomorganan penuh dan kehomorganan sebagian. Kehomorganan penuh adalah kehomorganan yang muncul akibat perbedaan bunyi karena posisi pita suara seperti pembeda “bersuara—tak bersuara” antara bunyi konsonan p dan b, t dan d, c dan j, serta k dan g. kehomorganan sebagian muncul apabila perbedaan diantara pasangan fonem tersebut ada cara artikulasinya, sedangkan daerah artikulassinya sama.

2.      Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pelafalan fonem oleh penutur suatu bahasa. Realisasi atau lafal fonem mencakup vocal, diftong, dan konsonan.
a.       Realisasi Vokal
1)      Vokal /i/
Realisasi atau lafal vokal yang dianggap umum adalah: pada semua posisi, seperti : [itu], [pipi], [jari], [klinik]. Realisasi vocal yang dianggap tidak umum adalah: [?i] seperti pada [jari?] /jari/

2)      Vokal /e/
Realisasi atau lafal vocal yang dianggap umum adalah : [e] pada semua posisi, seperti : [ekor], [memaη], [jahe].
3)      Vokal
Realisasi atau lafal vocal yang dianggap umum adalah : [] pada semua posisi, seperti : [mpat]
4)      Vokal /a/
Realisasi atau lafal vocal yang dianggap umum adalah: [a] pada semua posisi, seperti [asal].
5)      Vokal /o/
[o] pada semua posisi, seperti [ oleh].
6)      Vokal /u/
[u] terdapat pada semua posisi [kayu]

b.      Realisasi Diftong
1)      Diftong /au/
[aw] seperti pada [kalaw] /kalau/
2)      Diftong /ai/
[ay] seperti pada: [sampay]
[εy] seperti pada : [sbagεy]
3)      Diftong /oi/
4)      [oy] seperti pada : [amboy] /amboi/

c.       Realisasi Konsonan
1)      Konsonan /p/
[p] pada semua posisi seperti : [padi], [sapa].
2)      Konsonan /b/
3)      [b] pada posisi awal dan tengah, seperti : [bahasa], [ibu].
4)      Konsonan /m/
[m] pada semua posisi, seperti : [mata], [semua], [asam].
5)      Konsonan /w/
[w] pada posisi awal dan tengah, seperti : [wajah], [kawin].
6)      Konsonan / f/
[f] pada semua posisi, seperti : [filsafat].
7)      Konsonan /t/
[t] pada semua posisi, seperti : [tikus], [surat], [mati].
8)      Konsonan /d/
[d] pada semua posisi, seperti : [dasar], [tekat], [rido].
9)      Konsonan /n/
[n] pada semua posisi, seperti : [nilay], [pntiη], [laIn].
10)  Konsonan /l/
[l] pada semua posisi, seperti : [lima], [dalam], [kal].
11)  Konsonan /r/
[r] pada semua posisi, seperti : [raya], [fakir], [hari].
12)  Konsonan /c/
[c] pada awal dan tengah, seperti : [cari], [kuηci].
13)  Konsonan /j/
[j] pada semua posisi, seperti : [jari], [tlunjU?], [mi?raj].
14)  Konsonan /ñ/
[ñ] pada awal dan tengah, seperti : [ñata] /nyata/, [haña] /hanya/.
15)  Konsonan /s/
[s] pada semua posisi, seperti : [sudah], [usaha], [cmas].
16)  Konsonan /y/
[y] pada posisi awal dan tengah, seperti : [yaη] /yang/, [saya].
17)  Konsonan /k/
[k] pada awal dan tengah, seperti : [kita], [sikap].
18)  Konsonan /g/
[g] pada awal dan tengah, seperti : [goloηan], [tiga].
19)  Konsonan /η/
[η] pada semua posisi, seperti : [hiduη] /hidung/, [deηan] /dengan/.
20)  Konsonan /x/
[x] pada semua posisi, seperti : [xianat] /khianat/, [ixlas] /ikhlas/, [tarix] /tarikh/.
21)  Konsonan /h/
[h] pada semua posisi, seperti : [hari], [bahasa], [lbih].



3.      Transkripsi Bunyi Bahasa
Transkripsi adalah penulian tuturan atau pengubahan teks dengan tujuan untuk menyarankan lafal bunyi, fonem, morfem, atau tulisan sesuai dengan ejaan yang berlakudalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya. Transkripsi dibedakan atas beberapa jenis berikut.
a.       Transkripsi fonetis, yakni penulisan pengubahan menurut bunyi. Transkripsi ini ditandai dengan dua kurung siku […].
b.      Transkripri fonemis, yakni penulisan pengubahan menurut fonem. Ditandai dengan dua garis miring /…/.
c.       Transkripsi morfemis, yakni penulisan bahasa menurut morfem. Ditandai dengan kurung kurawal {….}.
d.      Transkripsi otografis, yakni penulisan pengubahan menurut huruf atau ejaan bahasa yang menjadi tujuannya. Ditandai dengan dua sudut <….>.
e.       Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, tanpa menghiraukan lafal bunyi kata yang bersangkutan.

2.8       Bunyi Suprasegmental
Di samping bunyi segmental, terdapat pula bunyi lain yang mendukung bunyi segmental, yakni “bunyi suprasegmental”. Bunyi suprasegmental dapat diklasifikasi berdasarkan ciri-cirinya sewaktu diucapkan yang disebut “ciri prosodi”. Ciri-ciri Bunyi Suprasegmental
a.       Jangka
Jangka, panjang, atau intensitas menyangkut lamanya bunyi diucapkan. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan waktu yang cukup lama, tentu disertai bunyi suprasegmental dengan ciri prosodi panjang.
b.      Tekanan
Dalam suatu kata atau kelompok kata selalu ada satu suku kata yang menonjol. Penonjolan suku kata tersebut dapat dilakukan dengan cara memperpanjangpengucapannya, meninggikan nada, atau dengan memperbesar tenaga pengucapan atau intensitas. Gejala seperti ini disebut tekanan.
c.       Jeda
Jeda, kesenyapan atau sendi merupakan ciri berhentinya tuturan atau pengucapan. Untaian bunyi seperti suku kata , kata, frase, klausa, dan kalimat memiliki ciri jeda tertentu.
d.      Intonasi
Intonasi merupakan perubahan titinada dalam berbicara. Karena itu, intonasi sering dinyatakan dengan angka (1, 2, 3, 4) yang melambangkan titinada atau bulatan yang ditempatkan dalam suatu dkala seperti pada pokok not musik.

2.9       Problematika Bunyi Bahasa
1.      Problem bunyi bahasa
Setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, walaupun dikatakan mempunyai sistem dalam pemakaiannya selalu timbul masalah-masalah, baik masalah yang berhubungan dengan pengucapan bunyi bahasa, bentukan kata, penulisan, dan pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan sifat bahasa yang selalu berkembang seiring perkembangan pikiran dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan. Ada hal yang menjadi dasar pokok permasalahan dalam pengucapan bunyi-bunyi bahasa, di antaranya:
a.       Faktor bahasa daerah berdasarkan dialek masing-masing atau menyerap bahasa-bahasa daerah sehingga terjadi penyebutan bunyi-bunyi fonem yang tidak baku.
b.      Adanya kata-kata yang diserap dari bahasa asing sehingga pengucapan bunyi-bunyi terhadap kata-kata tertentu ada yang salah.

2.      Upaya pemecahan masalah
Serangkaian problematika dalam pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang menyebabkan sulit berbahasa yang baku, tetapi ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan dengan problem semacam tersebut di antaranya:
a.       Bahasa yang kebanyakan telah diserap oleh bahasa asing dapat kita atasi dengan melakukan pemasyarakatan berbahasa Indonesia yang ditujukan pada upaya peningkatan sikap positif terhadap bahasa Indonesia yang baku dengan mengacu pada nilai-nilai dengan sistem bunyi bahasa yang telah diserap oleh bahasa asing. Untuk itu kita dapat melakukan pembakuan dalam bahasa Indonesia dengan kamus bahasa dan tata bahasa serta dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia dengan bunyi-bunyi bahasa yang baku kita harus melakukan penerbitan-penerbitan berbahasa Indonesia yang baik seperti dalam majalah dan novel yang telah banyak menggunakan bahasa-bahasa gaul.
b.      Meningkatkan peran ahli linguistik dengan memberikan informasi tentang pemakaian bahasa Indonesia yang baku dengan pengucapan bunyi fonem yang benar.
c.       Upaya selanjutnya yang dapat kita lakukan tentang problema bunyi bahasa karena faktor bahasa daerah yaitu kita dituntut bisa mangklasifikasikan pemakaian bahasa dengan ragam bunyi bahasa itu sendiri sehingga tidak ada pengucapan bunyi fonem bahasa yang salah dalam berbahasa khususnya dalam situasi-situasi resmi. Dengan pengklasifikasian ragam bunyi bahasa pada umumnya ada dua ragam yaitu ragam tinggi dimana ragam ini diklasifikasikan pemakai bahasa berdasarkan situasi resmi. Dengan pengklasifikasian ragam semacam ini mungkin akan tercipta berbahasa yang baik dengan pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang benar.
Jika serangkaian problematika dapat diatasi dengan upaya pemecahan seperti di atas maka akan terciptanya berbahasa Indonesia yang baku.

2.10     Fonem Bunyi
Fonem adalah bunyi dan bunyi terbagi menjadi dua yakni segmental dan suprasegmental. Segmental adalah fonem yang bisa dibagi. Contohnya, ketika kita mengucapkan “bahasa”, maka nomina yang dibunyikan tersebut bisa dobagi menjadi tiga suku kata ba-ha-sa. Atau dibagi menjadi lebih kecil lagi : b-a-h-a-s-a.
Fonem dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu fonem utama dan fonem kedua. Fonem utama adalah sebuah unit bunyi terkecil yang merupakan unsur sari sebuah bentuk ucapan yang mempunyai fungsi sendiri. Sedangkan fonem yang keduaadalah sebuah sifat bunyi yang mempunyai fungsi dalam ungkapan ketika diucapkan bersambung dengan kata lain.
Fonem kedua merupakan ontonim dari fonem utama, tidak termasuk bagian dari suatu kata, tetapi dapat diketahui apabila suatu kata disambungkan dengan kata lain, atau sebuah kata yang digunakan dengan penggunaan khusus. Fonem pertama disebut segmental sedangkan fonem kedua disebut suprasegmental.
Ketika seseorang mengucapkan nomina “ibu” secara datar tanpa diiringi oleh intonasi dan getran-getaran tertentu maka fonem yang mengandung nomina “ibu”  hanya dapat dipahami maknanya sebagai “ibu” saja, tidak lebih. Tetapi kalau ia diucapkan dengan intonasi yang kasar misalkan dengan getaran-getaran yang tidak biasa, maka kita bisa tahu bahwa ucapan tersebut mengandung nada yang kasar
Dari ilustrasi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perbedaan antara segmental dengan supasegmental adalah segmental hanya menhasilkan makna tekstual (sesuai makna kata yang diucapkan) sedangkan suprasegmental menghasilkan makna yang kontekstual yakni makna bercapur dengan keaaan dan kondisi si pengucap yang diketahui lewat intonasi dan getaran-getaran yang mengiringi fonem tersebut.
Fonem suprasegmental yaitu fonem yang kehadirannya menyertai fonem segmental. Jenis fonem ini disebut juga fonem sekunder, misalnya tekanan, nada, intonasi, dan sebagainya.
Unsur – unsur dalam suprasegmental :
1.      Tekanan
Tekanan adalah gejala yang ditimbulkan akibat danya pengkhususan dalam pelafalan sebuah kata.atau dengan kalimat lain diterangkan bahwa tekanan adalah bentuk tinggi rendahnya, panjang pendeknya, keras lembutnya suara atau pengucapan.
2.      Intonasi
Intonasi ialah tinggi rendahnya nada dalam pelafalan kalimat. Intonasi lazim dinyatakan dengan angka (1,2,3,4) angka 1 melambangkan nada paling rendah sedangkan angka 4 melambangkan nada paling tinggi. Penggunaan intonasi menandakan suasana hati penuturnya.
3.      Jeda
Jeda adalah penghentian atau kesentapan. Jeda juga berhubungan dengan intonasi, penggunaan intonasi yang baik dapat ditentukan pula oleh penjedaan kalimat yang tepat.

2.11     Kajian Fonem
1.      Pengertian Fonem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna.fonem dapat juga dibatasi sebagai unit bunyi yang bersifat distingtif atau unit bunyi yang signifikan. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf.
2.      Pengenalan Fonem
Untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang bersifat fungsional atau fonem, biasanya dilakukan melalui “kontras pasangan minimal”. Memang tidak mudah mencari pasangan minimal dalam sebuah bahasa. Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Bunyi yang berbeda itu saling bertentangan dalam posisi atau distribusi yang sama.
Dalam mengenal fonem terdapat beberapa pokok pikiran umum yang disebut premis-premis fonologis. Berdasarkan sifat umumnya premis-premis bahasa tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Bunyi bahasa mempunyai kencenderungan untuk dipengaruhi oleh lingkungannya.
2)      Sistem bunyi mempunyai kecenderungan bersifat simetris.
3)      Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi (fonem) yang berbeda, apabila terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang sama.
4)      Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip dan terdapat di dalam distribusi yang komplementer, harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas bunyi (fonem) yang sama.
Jadi untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang bersifat fungsional (fonem ),biasanya ditentukan melalui kontras pasangan minimal. Pasangan minimal ini adalah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna pada sebuah bahasa atau kata tunggal yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Contohnya : dara dan tara à /d/ dan /t/, kalah dan galah à /k/ dan /g/.

2.12     Diftong
Selama berbicara mengenai vocal,tak lengkap rasanya jika tak membahas mengenai diftong. Marsono mengatakan dalam bukunya yang berjudul fonetik (2008;19) Bahwa diftong termasuk dalam pengklasifikasian buny rangkap.Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdirir  dari dua bunyi dan terdapat dalamsatu suku kata. Diftong itu sendiri merupakan bunyi rangkap vokal. Contohnya : landai, aurat, boikot.

2.13     Kluster
Bunyi kluster /konsonan rangkap (dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis yang didasari olehpenuturnya. Oleh karena itu pengucapanpun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut. Jika salah makaakan berdampak pada maknanya. Kluster dalam bahasa Indonesia sebagai akibat pengaruh struktur fonetis unsur serapan. Contoh strategi, strukural.  Durasi adalah panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah bunyi, misalnya /lembab/ diucapkan dengan /lem/ lebih panjang daripada /bab/. Jeda adalah perhentian di antara arus ujaran, baik di antara fonem dan fonem maupun di antara kata dan kata.
2.14     Silaba
Silaba atau suku kata adalah suatu kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru.


3.1       Kesimpulan
Bunyi suprasegmental adalah bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa disegmen-segmenkan bunyi vokoid dan kontoid.oleh para fonetisi,bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,yaitu yang menyangkut aspek tinggi-rendah bunyi (nada), keras-lemah bunyi (tekanan), panjang-pendek bunyi (tempo) dan kesenyapan (jeda).
Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan.Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna.
Masalah diftong/vokoid rangkap ini berhubungan dengan sonoritas/tingkat kenyaringan suatu bunyi.Dalam praktiknya,bunyi diftong ini dua macam,yaitu diftong menurun (falling diphtong) dan diftong menaik (rising diphtong)
Bunyi kluster/ konsonan rangkap(dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari oleh penuturnya.Oleh karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut.Sebab,kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna.
Silaba atau suku kata adalah suatu kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru.Untuk memahami tentang suku kata ini para linguis atau fonetis berdasarkan pada dua teori,yaitu:(1) teori sonoritas dan (2) teori prominans.

3.2       Saran

Sebagai warga negara Indonesia yang baik dapat mengikuti tuturan atau ujaran yang sesuai konteks bahasa Indonesia. Ilmu kebahasaan perlu digali lebih dalam lagi, masih banyak ilmu yang perlu dipelajari.

NB: Maaf yah, kali ini saya tidak bisa mencantumkan daftar pustakanya. Dikarenakan file rusak. *diamuk massa* tehe... Gomenne.. ^_^

No comments:

Post a Comment